Oleh : Prof.
Dr. Muladi, SH. Mantan Gubernur Lemhannas RI
Selama kurang lebih 15 tahun terakhir masyarakat di
dunia menjadi saksi terjadinya 3 hal
yang berkaitan satu sama lain, yaitu : berakhirnya
Perang Dingin; keruntuhan Marxisme-Leninisme sebagai suatu ideologi
revolusioner di dunia; dan bangkitnya
suatu lingkungan keamanan dunia yang baru. Lingkungan strategis telah
mengalami suatu transformasi dari apa yang oleh John Lewis Gaddis
dikatakan sebagai the “Long Peace’of the 20 century Cold War” ke arah suatu situasi yang oleh US Pentagon digambarkan
sebagai a “Long War’ against the
diffuse of an Islamist insurgency”.(Evans, 2007)
Selama Perang Dingin (Long Peace) abad 20 terjadi banyak perang regional mulai dari Korea terus
ke Vienam dan selanjutnya Afganistan,
tetapi stabilitas struktural tidak pernah goyah
sebab tidak terjadi perang utama
antara dua kekuatan besar.
Digambarkan bahwa persiapan perang memang terjadi antara Pakta
Pertahanan NATO dan Pakta Warsawa, yang digambarkan sebagai suatu “symphony orchestra” yang megah dengan tahapan (lembaran
musik) yang bisa diperkirakan dan dimengerti dengan baik oleh masing-masing
musisi. Saat ini dalam suasana “Long War“ abad 21 persiapan konflik
bersenjata menyerupai musik jazz (jazz
playing), dengan segala improvisasinya dan akan sulit diramalkan bentuk
musik yang akan terdengar.
Kejadian 11 September 2001
merupakan gejala mengerikan tentang
terjadinya perobahan mendalam di dunia .
Teknologi telah menyebarkan kekuatan jauh dari pemerintah dan memperkuat individu dan kelompok untuk berperanan dalam
politik dunia termasuk menimbulkan kerusakan secara besar-besaran untuk melawan
pemerintah.
Privatisasi telah
meningkat dan terorisme merupakan
privatisasi perang (terrorism is
the privatization of war). Kejadian 11 September berasal dari globalisasi
dari kekerasan informal sebagai kategori baru
dari “asymmetric warfare” yang
diprakarsai oleh “non-state actors”.
Di dalam perkembangan “the Long War” terjadi apa yang oleh Blok Barat disebut
sebagai bentuk baru dari penyebaran
senjata pemusnah masal, penapis turbulensi global , dan penyebaran rasa
takut terorisme (novel setting of diffusion and diversification of weapons of mass destruction, percolating
global turbulence, and widespread fear
of terrorism). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karakter atau hakekat
perang telah berobah.
Namun harus dicatat bahwa
berkembangnya bahaya asimetrik yang bersifat dan berdimensi “new multi-centric environment” tidak dengan
sendirinya akan menghapuskan bahaya tradisional yang bersifat simetrik (state-centric world order).. Yang terjadi adalah “the two worlds of world politics”, dimana interaksi dunia yang
berkarakter simetrik atau “state centric” dan dunia asimetrik berupa “multicentric
world” semakin meningkat dan
menciptakan bentuk konflik bersenjata
yang berubah-ubah dan sulit diprediksi
sebelumnya.
Apa yang menjadikan lingkungan
strategis abad 21 begitu bergolak
bukanlah faktor perobahan itu sendiri,
tetapi karena kompresi atau tekanan dan
saling keterkaitan dari perobahan
yang cepat antara dunia “the state- centric” dan “multi-centric” akibat penggunaan jaringan elektronik.
Dalam hal ini dua cabang sistem keamanan global yang telah berkembang mengandung 3 (tiga) kecenderungan: (a)
pergeseran pemikiran yang berorientasi
pada teritorialitas kearah keterhubungan (connectedness)
dan pengurangan frekuensi perang antar
negara; (b) kekaburan perbedaan antara
negara dan masyarakat serta kebijakan
luar negeri dan domestik sehingga menciptakaan suatu kebutuhan nasional tentang kebijakan keamanan; dan (c)
penggabungan dari bentuk –bentuk konflik bersenjata yang
konvensional dan tidak konvensional. Dalam hal ini dikatakan bahwa “the most powerful weapon in the world, the
ability to manage every aspect of a conflict from one operation centre”.
Dalam hal ini Jenkins
menggambarkan perbedaan antara musuh dunia Barat di Era Perang Dingin dan yang berkembang di abad 21 sebagai berikut :
“The
enemies of yesterday were static,
predictable, homogenous, rigid, hierarchical, and resistant to change. The
enemies of today are dynamic, unpredictable, diverse, fluid, networked, and
constantly evolving” (Evans,
2007).
Logika dari timbulnya perang
asimetrik pada dasarnya berkaitan dengan
ketidakseimbangan kekuatan dan teknologi
perang antara negara yang beselisih (mis. Palestina menghadapi Israel; Al Qaeda
melawan AS).sehingga menerapkan taktik yang tidak konvensional. Yang lemah
mengklaim punya hak untuk menggunakan taktik tidak konvensional, yang terdiri
atas serangan terhadap penduduk sipil,
karena merupakan jalan satu-satunya untuk mengimbangi kekuatan musuh. Mereka
mengklaim dirinya sebagai pihak yang tidak beruntung menghadapi perang yang
tidak imbang.
Dengan demikian nampak adanya
dua dimensi bahaya terhadap baik negara maupun manusia di masa depan pasca
Perang Dingin. Di samping tetap adanya ketegangan antar negara seperti antara India
dan Pakistan yang sama-sama memiliki senjata nuklir, munculnya kekuatan baru
seperti China, kecurigaan AS dan Barat terhadap negara-negara yang dianggap
sebagai “roque States” (Korea Utara, Iran), intervensi antar negara dalam
masalah-masa;llah konflik antar nagara (di Afrika), maka muncul “new threat patterns” seperti : kejahatan transnasional
terorganisasi, perdagangan senjata-senjata ringan (small arms) , perompakan dl laut bebas, terrorisme yang melengkapi
dirinya dengan senjata-senjata pemusnah massal, “information warfare”, ancaman terhadap kedutaan-kedutaan besar,
kapal, pesawat udara dan asset-asset lepas pantai, migrasi illegal, dan
degradasi lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar