Oleh :
Indra J. Piliang
Dalam kategori politik, kaum remaja dimasukkan dalam kelompok pemilih pemula.
Mereka adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilih. Dengan hak
pilih itu, kaum remaja yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah ini akan
mempunyai tanggung jawab kewarganegaraan yang sama dengan kaum dewasa lain.
Selain itu, kaum remaja ini menjadi sasaran paling empuk untuk diperebutkan.
Jumlah pemilih pemula yang berkisar pada angka 20 juta orang dalam pemilu
sangat menggiurkan dari segi kemenangan dan kekalahan dalam pemilu.
Hanya,
belum banyak partai politik yang melakukan pendidikan politik serius terhadap
pemilih pemula ini. Mereka menggantungkan informasi politik kepada
berita-berita di media massa, sesama teman, orang tua, atau guru di sekolah.
Sehingga, program Civic Engagement in Democratic Governance (Cived), sebuah
organisasi nirlaba, menjadi bagian penting dari sosialisasi politik dan
demokrasi sejak dini. Kegiatan yang digelar oleh lembaga ini menjadi parameter
untuk menentukan tingkat kematangan kaum remaja dalam memaknai demokrasi.
Ada banyak
sentuhan khas remaja untuk demokrasi ini. Dalam karya film dan foto yang dibuat
oleh kaum remaja ini, pada kegiatan Cived, terlihat jelas bagaimana memahami
perbedaan sebagai bagian penting arti demokrasi bagi kaum remaja. Foto dan film
bendera warna-warni, kaki-kaki yang berdiri ketika bergayutan di gerbong kereta
api, perahu-perahu kertas yang berisi surat-surat anak-anak kepada presiden
yang tidak sampai di Istana Negara, perbedaan keyakinan di asrama sekolah,
sampai riwayat diri masing-masing anak menunjukkan itu.
Tapi
sebagian kaum remaja ini menerjemahkan demokrasi sebagai bentuk nasionalisme.
Maka, mereka menerjemahkan sebagai perjuangan ala bambu runcing kakek-neneknya.
Padahal kita sulit menemukan dalam sejarah bagaimana bentuk perlawanan dari bambu
runcing ini yang berhadapan dengan senjata-senjata berat kaum kolonial. Bambu
runcing menemukan pengaruh masif dalam film-film yang diputar semasa Soeharto
berkuasa, termasuk atas apa yang dikenal sebagai pendudukan Yogyakarta selama
enam jam oleh pasukan yang dipimpin oleh Soeharto. Bambu runcing berwarna
kuning hanya semacam mitos yang dicoba ditanamkan dalam pikiran banyak
anak-anak sekolah.
"Penyelewengan"
makna demokrasi menjadi nasionalisme atau patriotisme itu menunjukkan
perspektif yang dipungut dan didapat oleh kaum remaja dari kalangan elite
politik dan pemerintahan. Kita menyaksikan bagaimana politikus dalam
partai-partai politik lebih banyak bicara tentang nasionalisme ketimbang
demokrasi itu sendiri. Bahkan ada juga pemimpin politik yang mempertanyakan
dengan tegas urgensi dari demokrasi, dengan cara membenturkan dengan
kesejahteraan sosial dan ekonomi. Demokrasi malah ditafsirkan sebagai prosedur,
cara, atau alat, sementara tujuannya adalah kesejahteraan.
Pemilu
adalah satu bagian penting dalam demokrasi. Secara sederhana, pemilu adalah
cara individu warga negara melakukan kontrak politik dengan orang atau partai
politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih.
Pemilu bukan pemberian mandat secara total, sehingga klaim bahwa satu partai
politik tertentu memiliki pemilih dengan jumlah total tertentu dalam pemilu
sebelumnya menjadi tidak tepat. Untuk menjalankan mandat itu, partai politik
atau legislator partai politik harus juga melakukan proses komunikasi politik
dengan tujuan meminta persetujuan warga negara, terutama untuk
kebijakan-kebijakan krusial dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Kaum
remaja tentu memiliki mimpi-mimpi tersendiri tentang demokrasi dan untuk apa
demokrasi ada. Kaum remaja yang mempunyai orang tua cenderung merasa lebih
nyaman, terutama kalau kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi, seperti
sekolah, bepergian, berteman, atau memiliki pakaian yang layak. Perhatian yang
besar kaum remaja atas penampilan diri menimbulkan sikap yang kadang negatif,
yakni menutupi apa yang mereka anggap sebagai kelemahan, seperti kekayaan atau
jabatan keluarga. Persoalan kaum remaja menjadi tambah runyam ketika mereka
menjadi sasaran kampanye iklan-iklan konsumerisme dan hedonisme serta dijadikan
sebagai lahan penghancuran generasi lewat peredaran narkoba.
Cita-cita
kaum remaja ini bisa terkubur secara tragis ketika mereka harus menanggung
beban berat akibat ketiadaan perlindungan dari penyelenggara negara. Aspek ini
masih belum banyak didiskusikan oleh kelompok prodemokrasi atau partai-partai
politik. Kehancuran ekologis, kehilangan ruang-ruang kota untuk kegiatan
komersial, serta ketiadaan uang untuk rekreasi dan membina hubungan sosial
dengan anak-anak remaja yang lain, telah menjadi bagian dari mimpi buruk kaum
remaja dewasa ini. Bahkan, dalam aspek yang lebih substantif, kaum remaja ini
adalah satu mata rantai dari ketiadaan perhatian penyelenggara negara atas
nasib kaum ibu yang hamil dan melahirkan, serta atas anak-anak balita yang
tidak menerima asupan gizi yang cukup.
Para
tokoh politik kita barangkali lebih banyak yang membicarakan nasib orang-orang
tua seusia mereka atau yang lebih tua lagi. Yang dibicarakan adalah masa lalu,
seperti dendam antarklan dan dinasti politik. Yang dicoba digadang-gadangkan
adalah sejarah versi mereka sendiri untuk menancapkan pengaruh di kalangan
rakyat bahwa mereka adalah pejuang. Dunia politik meninggalkan anak-anak remaja
dan anak-anak balita, sehingga sebetulnya tidak peduli kepada masa depan itu
sendiri. Tidak mengherankan kalau kaum remaja menjadi unsur yang terlupakan
dari dunia politik dan perdebatan menyangkut demokrasi.
Padahal,
untuk memperkukuh tegaknya demokrasi, perhatian yang lebih atas kaum remaja ini
menjadi penting. Demokrasi akan digoyang terus oleh kepentingan kekuasaan,
dinasti politik, klan, familisme, ideologisme, dan segala macam kepentingan
kaum tua lainnya. Demokrasi hanya diisi dengan segala macam potret palsu
tentang perhatian kepada rakyat, ketika kaum remaja yang nanti menjadi generasi
pengganti tidak diikutsertakan dalam mencerna dunia dan masalah-masalahnya.
Untuk itu, pendidikan politik yang berdasarkan kepentingan kaum remaja sendiri
sangat diperlukan, terutama untuk mencegah agar jangan sampai suara mereka
hanya dihitung sebagai "pemilih pemula" yang tidak tahu apa-apa... *
Sumber
- Koran Tempo, Jum’at, 25 Januari 2008, dalam http://indrapiliang.com/2008/01/25/kaum-remaja-dan-demokrasi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar