Oleh :
Setiya
Saya
bukan warga DKI, dan tidak akan ikut memilih dalam prosesi Pilgub DKI. Namun
saya ikut senang mendengar pak Hidayat Nurwahid maju menjadi salah satu calon.
Secara pribadi saya tidak terlalu mengenal beliau, namun saya pernah beberapa
kali berinteraksi secara langsung secara tidak sengaja.
Interaksi
yang cukup mengejutkan saya adalah saat beliau menjabat sebagai Ketua MPR RI.
Saya pernah diajak oleh seorang teman menjemput pak Hidayat di stasiun kereta
api Tugu, Yogyakarta. Saya hampir tidak percaya bahwa seorang Ketua MPR naik
kereta api Senja Utama kelas bisnis, dari Jakarta menuju Yogyakarta untuk
menengok ibunda di Prambanan.
Biasa Naik Kereta Api Senja Utama Kelas
Bisnis
Ternyata
benar. Beliau naik kereta api Senja Utama kelas bisnis, bersama seluruh anggota
keluarga, yaitu isteri dan anak-anak. Saya benar-benar merasa kagum atas sikap
yang sangat bersahaja dan sederhana tersebut. Tidak ada ajudan atau staf
pribadi yang mendampingi atau menemani, tidak ada protokoler penyambutan di
stasiun kereta api. Pak Hidayat diantar dengan mobil Kijang dari stasiun Tugu
menuju Prambanan.
Dua
hari beliau menengok ibu di Prambanan, saat kembali ke Jakarta beliau juga
menggunakan kereta api Senja Utama kelas bisnis. Bukan kereta api kelas
eksekutif, bukan pula pesawat terbang. Benar-benar bersahaja. Salah seorang
teman yang ikut mengantar beliau ke stasiun Tugu menjelaskan, bahwa begitulah
kehidupan keseharian pak Hidayat. Apa yang dilakukan itu bersifat alami, tidak
dibuat-buat untuk mencari sensasi atau agar disorot media. Toh nyatanya tidak
ada satupun media memberitakan kebiasaan pak Hidayat naik kereta api kelas
bisnis ini.
Kejadian
seperti ini bukan hanya sekali dua kali, namun sering dilakukan pak Hidayat
bersama keluarga. Berbeda dengan beberapa kalangan pejabat yang tidak pernah
naik kereta api, namun sekalinya naik KRL langsung disorot media dan
diberitakan sampai sebulan. Membuat citra seakan-akan pejabat yang merakyat dan
sederhana. Pak Hidayat jauh dari sikap dan perilaku seperti itu. Beliau naik
kereta api Senja Utama bukan untuk mencari popularitas, bukan karena kampanye,
namun memang demikianlah jiwanya mengajarkan untuk hidup sederhana.
Casing HP Pecah
Sangat
banyak kisah kehidupan keseharian pak Hidayat. Salah satunya saya dapatkan dari
seorang teman yang pernah menjadi asisten beliau saat menjadi Ketua MPR. Teman
ini bercerita, suatu ketika diminta pak Hidayat membelikan lem alteco. Tanpa
bertanya kegunaan lem tersebut, sang asisten langsung pergi membelikan.
Setelah
lem diserahkan ke pak Hidayat, sang asisten penasaran, digunakan untuk apa lem
tersebut. Maka diam-diam ia menyelinap masuk ke ruang kerja pak Hidayat. Betapa
terkejut sang asisten menyaksikan pak Hidayat menggunakan lem tersebut untuk
memperbaiki casing HP beliau yang retak karena terjatuh.
Ia
tidak menyangka, seorang politisi senior, seorang Ketua MPR, masing mengurus
casing HP yang pecah. Bukan membeli casing baru, atau membeli HP baru, namun
membeli lem untuk memperbaiki casing yang pecah. Lagi-lagi, kejadian seperti
ini tidak pernah masuk pemberitaan media massa. Kehidupan beliau sangat sepi
dari publisitas. Beliau melakukan segala aktivitas secara alami, tanpa kemasan
branding, atau menyewa konsultan untuk memperbaiki penampilan atau membayar
media planner untuk mengatur tampilan beliau di media.
Semua
berjalan sangat alami, tanpa sentuhan entertainment. Itulah sosok sederhana
Hidayat Nurwahid yang sempat saya kenal.
Menjadi Calon Gubernur DKI
Karena
telah berbekal sedikit informasi mengenai pribadi pak Hidayat yang sangat
bersahaja, saya tidak heran ketika membaca detik.news tanggal 25 April 2012
kemarin yang memberitakjan salah satu aktivitas pak Hidayat sebagai salah satu
calon Gubernur DKI. Detik.news memberitakan pak Hidayat Nurwahid menjajal
transportasi Ibukota untuk menyerap aspirasi warga. Ia rela antre membeli tiket
dan bergelayutan di atas KRL Commuter Line dan bus TransJakarta.
Hidayat
tiba di Stasiun Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (25/4/2012) sekitar pukul 10.00
WIB. Hidayat mengenakan batik motif Monas warna oranye diberi tiket kereta
Rp 6.500 oleh tim suksesnya. Ia menyapa penumpang yang tengah menanti
kedatangan kereta.
Di
dalam KRL Commuter Line, Hidayat memilih berdiri. Padahal, ada beberapa kursi
yang kosong. Hidayat menanyakan keluh kesah para penumpang kereta. Sejumlah
penumpang lalu menumpahkan unek-uneknya. “Kalau bisa kereta ditambah, biar
tidak ada penumpukan dan keterlambatan,” ujar seorang pria penumpang KRL.
Menanggapi
keluhan itu, Hidayat mengaku KRL masih sangat kurang di Jakarta.“Kemarin, sudah
ada penambahan KRL 20 rangkaian. Namun, rasionalnya untuk mencapai target
penumpang 1,2 juta diperlukan penambahan KRL lagi, mungkin 1.440 KRL lagi.
Kalau itu dipenuhi, dibutuhkan anggaran hampir Rp 1 triliun dan itu bukan
ukuran yang besar untuk APBD DKI,” papar pak Hidayat.
Menurut
dia, penambahan gerbong dapat menjadi solusi dan efektif untuk mengurangi
kemacetan di Jakarta. “Kita akan memenuhi secara bertahap sehingga angka
1.440 bisa terpenuhi dan bisa mengangkut 1,2 juta orang per hari,” janjinya. Ia
mengusulkan agar Pemprov DKI melakukan komunikasi yang intensif dengan KAI
seperti dengan membuat anak perusahaan KAI. “Intinya, DKI harus siap
supaya bisa secepat mungkin sediakan sarana transportasi yang cukup baik supaya
tidak ada keterlambatan dan penumpukan penumpang,” kata Hidayat.
Bus TransJakarta
Setelah
naik KRL Commuter Line, Hidayat lalu bergegas naik bus TransJakarta dari Halte
Gambir menuju Halte Harmoni. Ia juga memilih bergelayutan dan berbaur
dengan penumpang busway lainnya. Hidayat juga menampung aspirasi para penumpang
bus TransJakarta.
Hidayat
kemudian turun di Halte Dukuh Atas. Di halte inilah, Hidayat mengantre karcis
Rp 3.500 untuk menuju halte Warung Jati. “Nggak (capek ngantre) karena
dari dulu manusia jalanan. Sejak tahun 1962 naik bus, metromini termasuk bajaj
dan itu sudah biasa, tidak merasa capek,” kata Hidayat.
Menurut
dia, Jakarta seharusnya menyiapkan transportasi yang nyaman dan tidak menumpuk
seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar