Oleh : Prof.
Dr. Muladi, SH. Mantan Gubernur Lemhannas RI
Terkait dengan apa yang telah
dikemukakan di atas, perlu dikaji apa yang dinamakan Generasi Keempat Perang (Fourth Generation of War - 4GW) sebagai berikut:
Generasi I perang modern terjadi antara 1648-1860. Perang ini merupakan perang dalam barisan dan
lajur, di mana perang dilakukan secara formal dan medan perang yang tertib dan
rapi serta linier. Hal ini dikaitkan dengan kultur militer yang penuh keteraturan.
Hal-hal yang membedakan antara orang sipil dan militer seperti pakaian seragam,
pemberian hormat, dan pangkat, pada
dasarnya merupakan produk Generasi I
ini dan dimaksudkan untuk menegakkan budaya ketertiban. Generasi I ini didominasi
oleh “massed manpower” seperti yang terjadi dalam perang Napoleon;
Generasi II perang
dikembangkan oleh Tentara Perancis, selama Perang Dunia I,
dengan mengedepankan daya tembak atau “mass firepower” yang sebagian besar
memanfaatkan tembakan meriam tidak
langsung. Doktrin yang dikembangkan adalah “
The artillery conquers, the cavalry as
the attacker and the infantry occupies”.
Daya tembak yang terkendali
secara terpusat dan hati-hati disinkronisasikan dengan menggunakan
rencana yang khusus dan terperinci dan teratur bagi infantri, tank dan
artilery di mana komander sangat
memegang peranan;
Generasi III perang yang sebenarnya juga merupakan produk PD I
dikembangkan oleh Tentara Jerman dalam PD II yang dikenal secara luas sebagai “Blitzkrieg” atau perang dengan maneuver, didasarkan atas daya tembak dan menghabiskan tenaga lawan (attrition), tetapi mengutamakan
kecepatan, daya dadak, dan kekuatan mental serta fisik. Sebagai
pengganti doktrin “close with and destroy” motto yang lain yang dikembangkan adalah “bypass
and collapse”. Generasi ketiga ini bersifat “non-linier”. Ketertiban menentukan hasil yang akan dicapai,
tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif lebih penting daripada ketaatan.
Selanjutnya desentralisasi dan
inisiatif yang berasal dari generasi
ketiga diambil alih oleh Generasi IV perang. Yang sangat menonjol dalam
Generasi IV ini adalah perobahan radikal terhadap norma yang dihasilkan oleh
perjanjian Westphalia 1648 bahwa negara adalah yang memonopoli perang, karena
di seluruh dunia militer negara dalam
generasi ini bertempur dengan “non-state opponents”, seperti al Qaeda
dan organisasi-organisasi teroris lain.
Dalam generasi ini sebenarnya
yang terjadi adalah berulangnya budaya perang
di masa lalu di mana yang terlibat
konflik bukanlah negara, tetapi keluarga, suku, penganut agama, kota, dunia
usaha yang menggunakan segala cara. Generasi keempat ini mengembangkan apa yang dinamakan “insurgency”, bersifat asimetrik yang mendayagunakan segala jaringan yang tersedia -politik, ekonomi, sosial, militer- untuk
meyakinkan pengambil keputusan musuh
bahwa tujuan strategis mereka tidak
dapat dicapai atau sangat mahal. (Lind, 2007).
Karakter lain adalah bersifat
transnasional, tidak mengenal “battlefield”
yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan
damai, tidak mengenal “front-line”,
dan bergerak melalui kelompok-kelompok kecil. Contohnya adalah terorisme.
“As
the world moves further away from the 20th century concept of the Cold War, it
becomes increasingly clear that the very nature of warfare itself has changed. The Old Style conflicts were about overpowering the
enemy and winning ground. The new wars are about ideas, belief systems and
ideologies. The battle is no longer about winning territory, it is about
winning minds”.
Akhir-akhir ini mulai muncul
wacana tentang Generasi V Perang (Fifth Generation of Warfare) yang
disebut sebagai “Information Operations/Warfare”
melalui mass media, internet (cyber
warrior) yang dapat menimbulkan kerusakan
luar biasa di segala bidang (ekonomi, pertahanan, transportasi,
politik dll). (Patriot Post, 2007)
Dalam menghadapi Generasi IV
dan Generasi V perang ini, khususnya yang dikendalikan oleh “non-state actor” dan “rogue state” (states considered threatening
to the world’s peace, such as being ruled
by authoritarian regimes that severely
restrict human rights, sponsor terrorism, and seek to proliferate
weapons of mass destruction) Amerika
Serikat menerapkan “nontrinity war” (war fought not by an army
on behalf of a people nor directed by
some form of government for one or both sides in the war) yakni dengan
menerapkan “anticipatory strike”.
Bahkan saat ini bersama sekutu-sekutunya
AS menerapkan “Proliferation Security Initiatives”(PSI) yang memungkinkan
negara-negara pendukung PSI mencegat
kapal-kapal asing dan kapal-kapal lainnya yang berlayar di laut bebas dan di
perairan nasional jika dicurigai membawa
senjata pemusnah massal (WMD) dan atau bahan-bahannya untuk mencegah
penyebarannya, khususnya dari atau ke negara-negara yang dicurigai
mengembangkan senjata nuklir atau WMD lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar