Selasa, 03 Juli 2012

Generasi Perang ke-4 dan ke-5


Oleh : Prof. Dr. Muladi, SH. Mantan Gubernur Lemhannas RI


Terkait dengan apa yang telah dikemukakan di atas, perlu dikaji apa yang dinamakan Generasi Keempat Perang (Fourth Generation of War - 4GW)  sebagai berikut:
Generasi I perang modern  terjadi antara 1648-1860.  Perang ini merupakan perang dalam barisan dan lajur, di mana perang dilakukan secara formal dan medan perang yang tertib dan rapi serta linier. Hal ini dikaitkan dengan kultur militer yang penuh keteraturan. Hal-hal yang membedakan antara orang sipil dan militer seperti pakaian seragam, pemberian hormat, dan  pangkat, pada dasarnya merupakan  produk Generasi I ini  dan dimaksudkan  untuk menegakkan  budaya ketertiban. Generasi I ini didominasi oleh “massed manpower”  seperti yang terjadi dalam perang Napoleon;
Generasi II perang dikembangkan  oleh  Tentara Perancis, selama Perang Dunia I, dengan mengedepankan  daya tembak atau “mass firepower” yang sebagian besar memanfaatkan  tembakan meriam tidak langsung. Doktrin yang dikembangkan adalah “ The artillery conquers,  the cavalry as the attacker and  the infantry occupies”.

Daya tembak yang terkendali secara terpusat dan hati-hati disinkronisasikan dengan  menggunakan  rencana yang khusus dan terperinci dan teratur bagi infantri, tank dan artilery di mana komander  sangat memegang peranan;
Generasi III perang  yang sebenarnya juga merupakan produk PD I dikembangkan oleh Tentara Jerman dalam PD II yang dikenal secara luas sebagai “Blitzkrieg” atau perang dengan maneuver,  didasarkan atas  daya tembak dan menghabiskan tenaga lawan (attrition), tetapi  mengutamakan  kecepatan, daya dadak, dan kekuatan mental serta fisik. Sebagai pengganti  doktrin “close with and destroy” motto yang lain yang dikembangkan  adalah “bypass and collapse”. Generasi ketiga ini bersifat “non-linier”. Ketertiban menentukan hasil yang akan dicapai, tetapi tidak menentukan cara. Inisiatif lebih penting daripada ketaatan.
Selanjutnya desentralisasi dan inisiatif  yang berasal dari generasi ketiga diambil alih oleh Generasi IV perang. Yang sangat menonjol dalam Generasi IV ini adalah perobahan radikal terhadap norma yang dihasilkan oleh perjanjian Westphalia 1648 bahwa negara adalah yang memonopoli perang, karena di seluruh dunia militer negara  dalam generasi ini bertempur dengan  “non-state opponents”, seperti al Qaeda dan organisasi-organisasi teroris lain.
Dalam generasi ini sebenarnya yang terjadi adalah berulangnya  budaya perang di masa  lalu di mana yang terlibat konflik bukanlah negara, tetapi keluarga, suku, penganut agama, kota, dunia usaha yang menggunakan segala cara. Generasi keempat ini  mengembangkan apa yang dinamakan “insurgency”, bersifat asimetrik  yang mendayagunakan  segala jaringan yang tersedia  -politik, ekonomi, sosial, militer- untuk meyakinkan  pengambil keputusan musuh bahwa tujuan strategis mereka  tidak dapat dicapai atau sangat mahal. (Lind, 2007).
Karakter lain adalah bersifat transnasional, tidak mengenal “battlefield” yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai, tidak mengenal “front-line”, dan bergerak melalui kelompok-kelompok kecil. Contohnya adalah terorisme.
“As the world moves further away from the 20th century concept of the Cold War, it becomes increasingly clear that the very nature of warfare itself has  changed. The Old  Style conflicts were about overpowering the enemy and winning ground. The new wars are about ideas, belief systems and ideologies. The battle is no longer about winning territory, it is about winning minds”.
Akhir-akhir ini mulai muncul wacana tentang Generasi V  Perang (Fifth Generation of Warfare) yang disebut sebagai “Information Operations/Warfare” melalui mass media, internet (cyber warrior) yang dapat menimbulkan kerusakan  luar biasa di segala bidang (ekonomi, pertahanan, transportasi, politik   dll). (Patriot Post, 2007)
Dalam menghadapi Generasi IV dan Generasi V perang ini, khususnya yang dikendalikan oleh “non-state actor” dan “rogue state” (states considered threatening to the world’s peace, such as being ruled  by authoritarian regimes that severely  restrict human rights, sponsor terrorism, and seek to proliferate weapons of mass destruction)  Amerika Serikat  menerapkan “nontrinity war” (war fought not by an army on behalf of a people  nor directed by some form of government for one or both sides in the war) yakni dengan menerapkan “anticipatory strike”.  
Bahkan saat ini bersama sekutu-sekutunya AS  menerapkan “Proliferation Security Initiatives”(PSI) yang memungkinkan negara-negara pendukung PSI  mencegat kapal-kapal asing dan kapal-kapal lainnya yang berlayar di laut bebas dan di perairan nasional jika dicurigai  membawa senjata pemusnah massal (WMD) dan atau bahan-bahannya untuk mencegah penyebarannya, khususnya dari atau ke negara-negara yang dicurigai mengembangkan senjata nuklir atau WMD lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar